Evolusi Huruf



Foto: Koleksi pribadi

Penyebaran dan Perubahan Bentuk Huruf

Bahasa merupakan imaji akustik atau kata dan bunyi yang terkait dengan konsep (benda atau ide), tersusun dengan sebuah sistem dan semua itu merupakan hasil kesepakatan atau konvensi (Saussure dalam Sutrisno: 2005:115). Kelompok-kelopok manusia pada fase awal menggunakan bahasa lisan sebagai alat komunikasi. Karena lisan menempel di tubuh, maka kehadiran tubuh dalam sebuah ruangan dan waktu tentunya mutlak harus terpenuhi. Lalu usaha-usaha komunikasi tidak hanya pada manusia-manusia yang hadir, timbul ekspresi yang ingin dibagikan, pada komunitas-komunitas, pada hal-hal yang dianggap memiliki kekuatan, atau pesan sebagai tanda kekuasaan dan otonomi.

Aksara atau huruf adalah upaya mematerialkan suara, alat perekam dan dapat mendokumentasikan ucapan-ucapan, mengkonversi lisan yang diterjemahkan menjadi bentuk atau gambar. Awal kejadian huruf dari sistem pictogram yaitu gambar yang mewakili mewakili bentuk benda yang dimaksud. Secara perlahan, berdasarkan asosiasi, beberapa pictogram berubah menjadi ideogram yaitu simbol yang bentuknya tidak persis mewakili bentuk yang dimaksud sehingga dapat digunakan untuk berbagai arti, dan terus berubah hingga mempunyai gaya penulisan yang tertentu dan mulai mewakili bunyi suara (Wijaya.1999:49). Huruf sebagai lambang bunyi akan mewakili bahasa, mengartikulasikan bahasa lisan menjadi bahasa tulisan. Eksistensi huruf bukan menggantikan kelisanan manusia namun membantu kelisanan hingga menjadi lebih tersebar menembus ruang dan waktu. Masing-masing bahasa memiliki huruf yang khas serta pengucapan yang berbeda, logat, dialek, bahasa dan aksara yang mendominasi dunia seperti Ingris, Prancis, Arab, jepang, Mandarin. Terdapat pula bahasa yang tidak memiliki huruf, atau hurufnya telah musnah, namun kegiatan kelisanan bahasa masih terus berlangsung.

Artefak Sumeria yang menjelaskan tentang jumlah
 rekening perak seorang gubernur. Terbuat dari tanah liat,
tersimpan di British Museum, London
Perkembangan huruf dari zaman ke zaman, secara bentuk mengalami perubahan. Evolusi terjadi karena adaptasi budaya, ilmu pengetahuan, material, dan kekuasaan. Deringer mencatatkan bahwa dalam mengenal budaya tulis (script) jejak yang ditinggalkan paling awal akan kita temukan pada bangsa Sumeria di Mesopotamia (Irak) di perkirakan pada tahun 3500 SM (Ong.2013:126). Bangsa ini telah menemukan bentuk tulisan yang mulai tersusun, berbentuk abstark dan simbolik. Lalu pada tahap selanjutnya menjadi modern alphabet yang kita gunakan. Simbol-simbol itu terus berkembang dan bertambah sesuai dengan bunyi suara, dan semakin abstrak bentuknya (Wijaya.1999:50).

Susunan Alphabet Phoenician
jika kita perhatikan arah baca tulisan ini dari kanan ke kiri.
Peralihan kebudayaan tulis dari zaman Sumeria hingga menjadi alphabet tidak secara tiba-tiba, perjalanan huruf tersebut masuk ke wilayah Phoenician (Fenisia), bangsa ini berada di pesisir pantai mereka mendiami wilayah Libanon, Palestina hingga Suriah. Huruf Fenisia memiliki 22 konsonan, arah membaca tulisannya dari kanan ke kiri, seperti layaknya tulisan arab masakini . Pada masa huruf Fenisia abjad pertama diucapkan “Aleph” seperti pada gambar 2, menggambarkan hewan bertanduk disebut “ox” menyerupai sapi, kerbau atau banteng. Semua alpabet memiliki pengucapan sekaligus memiliki arti. Secara visual huruf-huruf tersebut merupakan hasil dari stilasi atau penyederhanaan bentuk pictograph. Perubahan bentuk dan pelafalan huruf semakin berubah ketika memasuki zaman-zaman lain. Pergerakan budaya aksara ke bangsa Yunani dan latin, menjadi huruf yang sekarang kita kenal, lalu perjalanan huruf ke timur menjadi huruf arab.
Alur perubahan huruf dari masa-ke masa

Bentuk huruf dan segala macam elemen, serta sistem bahasa dari tiap-tiap generasi (bangsa) yang telah berevolusi tidak secara total berubah. Dalam gambar 3 bentuk huruf Finisia ke arah barat menuju Modern Latin hanya mengalami perubahan sedikit. Sebagai contoh “Aleph” mengalami penukaran posisi, berputar 90 derajat. Dan penyebutan “Aleph”, di zaman Yunani menjadi “alpha”, kemudian memasuki zaman Latin menjadi “A”. Secara visual bentuk huruf Finisia hingga Latin, mengalami perubahan yang relatif masih terlihat pergerakannya dan terasa ‘lembut’. Lain halnya dengan huruf Finisia yang bergerak ke arah timur tengah, penyebutan “Aleph” menjadi “Alif” ketika masuk ke jazirah Arab, secara visual huruf Finisia yang memasuki wilayah Arab melalui bangsa Nabatean dan Aramaic mengalami lonjakan-lonjakan visual. Pada masa Aramaic perubahan bentuk huruf masih terasa ringan, namun ketika memasuki Nabatean kemudian Arab perubahan huruf begitu terasa jauh. Evolusi huruf tidak hanya pada bentuk yang semakin berubah dan berbeda, tata letak, arah baca dari kanan ke kiri ketika masuk wilayah timur (Arab), dan menjadi arah baca kiri ke kanan untuk wilayah barat Yunani dan Latin.
Back to Content ↑


Huruf Nusantara

Dr. Douwes Dekker atau Setiabudi menyebutkan istilah Nusantara pada tahun 1930 untuk seluruh kepulauan yang berada dibawah jajahan Belanda. Sebutan Nusantara pertama kali digunakan sekitar abad 15 lalu, yang tertuang dalam deretan naskah-naskah, memiliki arti pulau-pulau selain pulau Jawa dan Bali (Ajip. 1995:101). Sebagai cikal-bakal negara Indonesia, Nusantara menggunakan bahasa melayu sebagai sarana komunikasi. Dalam catatan Ajip Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kurang lebih 400 bahasa, beberapa daerah telah memiliki sejarah panjang dalam penggunaan bahasa, bahkan kini dipakai oleh jutaan orang sebagai alat komunikasi.

Peradaban tulisan atau huruf Nusantara sebelum Islam menggunakan huruf dari bahasa masing- masing dalam menuliskan karya-karyanya sastera dan lainnya (Ajip. 1995:102), hingga masuknya pengaruh agama-agama besar dari luar yang kelak akan merubah kebudayaan tulis mereka. Begitu kuat pengaruh agama Islam hingga karya karya sastera melayu serta buku-buku ditulis menggunakan huru Arab. Hal ini sangat dimaklumi karena agama Islam menggunakan huruf Arab, dan agama ini tersebar hampir merata di Nusantara. Menariknya tulisan-tulisan yang menggunakan huruf Arab dalam naskah-naskah nusantara, bukanlah Arab sebagai bahasa Arab, manusia Nusantara hanya meminjam huruf arab sebagai media tulis, tapi secara bahasa tetap menggunakan bahasa melayu atau bahasa daerah. Gaya tulisan Arab ini di sebut Arab Jawi (Ajip. 1995:268) , atau Arab Pegon. Dalam bahasa Jawa pego artinya menyimpang. Memang tulisan Pegon terasa aneh (menyimpang) secara visual tulisannya menggunakan visual Arab, cara membacanya mengikuti kaidah bahasa Arab, dari kanan ke kiri, namun jika orang Arab turut membaca naskah Pegon tentu akan menemui kesulitan, sebab bahasa yang digunakan pegon bukan lah bahasa Arab. Secara visual huruf Pengon juga bukan tulisan Jawa walau teksnya menggunakan bahasa jawa, makan pengon menjadi benar-benar aneh Arab tidak, Jawa pun bukan (Ulum).

Ada hal yang perlu di cermati, sebagai mana Saussure dalam Sutrisno (2005) mengatakan bahwa sebuah bahasa terdiri dari tanda-tanda. Yang memiliki penanda dan petanda. Maka Pegon telah melabrak tanda-tanda kelumrahan. Huruf hijaiyah Pegon sebagai penanda, dan seyogyanya petandanya adalah makna-makna bahasa Arab, tetapi ternyata Pegon jauh melenceng dari kearabannya. Atau secara menyeluruh pegon juga merupakan tanda baru dari khsanah budaya arab melayu. Hijaiyah pegon yang hibrid tidak mewakili suku Quraisy atau Baduwi dari negeri padang pasir, tapi Pegon sebuah representasi dari masyarakat nusantara yang berupaya mengawinkan kebudayaan asing dengan kebudayaan ibunya. Jika Saussure membahas permainan catur yang memiliki aturan, tata bahsa, sistem, sebagai langue, Maka Pegon adalah bidak catur yang sedang bermain kemudian dirubah oleh kreatifitas bangsa nusantara sebagai parole. Manusia Nusantara bisa menimbulkan solusi dalam pengadaptasikan, akulturasi budaya yang dibawa agama Islam dan budaya pribumi (Nusantara). Hingga proses peleburan nilai-nilai budaya tidak berhadapan secara kasar dan berakhir tragis.

susunan huruf Pegon beberapa huruf dalam linggkaran mengalami
adaptasi dengan pengucapan bahasa melayu
Pegon pada masanya adalah budaya baca dan tulis yang dimiliki rakyat Nusantara, tulisan Arab Jawi diperaktekan di tiap pesantren, huruf tersebut digunakan sebagai media penyampaian, bacaan tulisan. Pesantren sebagai basisi pendidikan yang membahas agama, bahasa Arab, dan ilmu lainnya, begitu terbuka bagi sispapun yang ingin mengikuti pendidikannya tanpa mengenal kasta. Karena pendidikan ala pesantren begitu merakyat maka penyebaran huruf pegon menjadi ikut tersebar di Nusantara, termasuk berdirinya pesantren-pesantren di seluruh negri.

Lantas bagai mana nasib huruf asli daerah-daeran nusantara? Sebuah pertanyaan yang wajar, jika melihat posisi huruf-huruf tersebut ada lebih awal dari Pegon. Melihat begitu kuatnya pengaruh huruf pegon yang digunakan pada zaman Nusantara, hingga raja-raja menuliskan surat , membuat stempel menggunakan huruf pegon. Bukan tidak ada tulisan daerah atau penggunaan huruf sesuai dengan bahasa daerahnya, tapi lebih karena penulisan naskah/karya dalam huruf daerah banyak terpusat di kelompok tertentu atau keraton (Ajip. 1995:268) yang tidak telalu terpengaruh oleh agama Islam seperti Bali.

Selembar surat Sultan Kaimuddin I Kepada Kolonel Jan David van Schelle
Back to Content ↑


Huruf Nasional

Masuknya kekuasaan dan kekuatan penjajahan dalam sektor pendidikan ikut merasakan dampaknya. Di masa kolonial untuk memasuki ruang sekolah sangat terbatas, hanya anak-anak dari golongan tertentu yang bisa mengecap pendidikan ala Belanda. Tulisan-tulisan menggunakan huruf latin, juga mempelajari bahasa Belanda dan bahasa asing (non Arab). karena kekuasaannya pengaruh pendidikan belanda kian lama menjadi model pendidikan yang disahkan secara hukum, lulusan sekolah ini dapat melanjutkan ke tingakat yang lebih tinggi hingga sarjana. Lusan sekolah Belanda dapat mudah begerak, mencari kerja, dan memulai dialog dengan barat (membaca luteratur dalam bahasa asing yang menggunakan huruf latin). Kondisi ini kian menjadikan posisi sekolah ala Belanda menjadi pendidikan yang diakui secara formal.

Lain halnya dengan Pendidikan ala pesantren dan penulisan huruf pegon, awalnya menjadi kekuatan budaya dominan, setelah merangseknya kolonial lambat laun jadi bergeser, kejayaan pegon tidak membahana lagi, sulit membaca dan menuliskannya karena menjadi asing kembali. Huruf Jawi tidak lagi menjadi bahan ‘percakapan’ yang formal dalam segala urusan, bahkan orang dianggap buta huruf jika tidak dapat membaca tulisan latin tapi ahli dalam membaca dan menulis Pegon. Terlebih pada awal menjelang pergantian abad ke 19 media penerbitan secara besar-besaran telah mencetak dan menggunakan huruf latin sebagai media komunikasi, kondisi ini yang semakin melengserkan huruf Jawi di kancah penulisan (Håklev. 2008:59).

Dikotomi ‘stempel’ tradisional moderen, formal non formal, dalam pendidikan, masih melekat dan bisa ditemukan jejaknya. Selain sekolah formal dari pemerintah penjelmaan pesantren kini terbelah menjadi dua bagian, ada pesantren tradisional dan pesantren moderen. Pesantren-pesantren tradisional atau kita mengenalnya dengan sebutan pesantren salaf, biasanya terdapat dipinggir-pinggir kota, berada di ujung kampung, pendidikannya hanya mengkaji kitab-kitab kalsik (kuning). Selain disebut pesantren salaf pendidikan seperti ini digolongkan sebagai pendidikan non formal. Lulusan pesantren salaf tidak mendapatkan ijasah, jikapun ada maka ijasahnya tidak belaku dan tidak diakui oleh pemerintah dan institusi lainnya. Keberadaan huruf Pegon di pesantren ini masih digunakan sebagai media pengajaran dan pembelajaran.

Kemudian ada pesantren moderen yang mencampurkan pendidikan formal dan budaya kepesantrenan, ruang lingkup pendidikannya tidak hanya belajar agama dan kitab-kitab klasik, tapi juga mempelajari ilmu-ilmu umum setingkat SMA, SMP, bahkan ada pesantren dari SD. Ijasah dari pesantren moderen sudah diakui oleh pemereintah dan institusi lain jika sesuai dengan ijinnya, keberadaan ijasah beberapa pesantren moderen, masih tertolak karena tidak seusuai dengan perijinan. Tulisan yang digunakan dalam lingkunga pesantren moderen sudah menggunak huruf latin, beberapa masih ber-pegon.
Back to Content ↑

Penutup

Transformasi budaya terjadi karena adanya pelapukan sosial, hegemoni budaya kuat, desakan peradaban, dominasi religiusitas dan faktor lain. Artefak budaya bisa memperlihatkan kita adanya bukti pergeseran tersebut, bagaimana perjalanan kelisanan manusi yang kemudian menuntut adanya rekaman, dokumentasi, dalam rangka mengenang-ngenang kejadian, menyebarkan informasi tampa perlu kehadiran tubuh, yang di jawab dengan penciptaan huruf. Lalu pengaruh huruf yang akan menggelobal dan merubahan seluruh peradaban dunia.

Huruf sebagai rekan bahasa tidak hanya memberi tanda-tanda, makana, bisa mewakili ekspresi, ideologi, meliputi kepercayaan dan agama, tapi lebih dari sekedar itu terjadinya perubahan bentuk huruf, penggunaan, dan sekaligus bahasa tulisan, dapat menjadi cerminan kekuasaan yang tengah bercokol. Kekuasaan akan menjadikan budaya sebagai konvensi mengatur nilai-nilai yang memaksa untuk taat, jika tidak maka tatanan budaya yang tengah gaduh bersiaplah memasuki liang lahat. dan pegon pun menjadi sekarat.

Itulah kenyataan budaya yang selalu bersifat dinamis, digerakan manusia-manusia yang juga terus bergerak. Karena budaya bersifat dinamis maka tak perlu risau dengan ucapan-ucapan vicky tentang “kontoversi hati” dan “statusissasi kemakmuran”. suatu saat bisa menjadi kekuatan dominan memasuki sektor-sektor formal dan mendapatkan legitimasi dari pihak “kolonial”. Lalu kolonialisme itu bermain mata dengan kaum alay, membuat sebuah prosa berjudul ”qud3t4 1nd0n3s14”.
Back to Content ↑

Sumber

  • Rosidi, Ajip. (1995): Sastera Dan Budaya Kedaerahan Dalam Keindonesiaan, Jakarta, Pustaka Jaya.
  • Håklev, Setian. (2008): Mencerdaskan Bangsa-Suatu pertanyaan fenomena taman bacaan di Indonesia, Toronto, University of Toronto.
  • Wijaya, Priscilia, Y. (1999): Tipografi dalam Desain Komunikasi Visual, NIRMANA VOL.1, 45-50.
  • Ong, Walter, J. (2013): Kelisanan dan keaksaraan, Yogyakarta, Gading Publishing.
  • Sachri, Agus. (2007): Budaya visual Indonesia, Jakarta, Erlangga.
  • Sutrisno, Muji dan Putranto, H. (2005): Teori-Teori Kebudayaan, Yogyakarta, Knisisus.
  • http://niadilova.blogdetik.com/index.php/archives/171
  • http://commons.wikimedia.org/wiki/File:Sumerian_account_of_silver_for_the_govenor.JPG
  • http://www.phoenician.org/alphabet.htm
  • http://29letters.wordpress.com/2007/05/28/arabic-type-history/
  • Huruf Pegon, Pemersatu Ulama Nusantara
Back to Content ↑

Comments

  1. benar juga ya mas,,,, jd masih heran lihat dosen2 yg memperkarakan hal2 yg sifatnya cuma typo doank... padhal bisanya dia bacanya... blum lg dengan istilh yg sbnarnya tak penting diperdbatkan...

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehehhe dosen juga manusia bukan dewa, kadang berharap banyak tapi ternyata yah manusiawi, tapi memang dosen yang baik juga seperti halnya sutradara yg baik harus jauh 5 kali lebih maju dalam berfikir

      Delete

Post a Comment