Payung Nusantara
Kata payung dalam bahasa Indonesia berarti alat pelindung dari hujan atau pancaran sinar matahari. Kehadiran payung di tanah Nusantara telah ada seperti cerita dalam relif Candi Borobudur. Jejak artefak payung terdapat dalam relif Stupa Buddha bermahkotakan sebuah payung bersama-sama dengan tiangnya payung itu menggambarkan daun-daun serta batang dari pohon kosmis yang tegak pada gunung dunia. Secara simbolik payung menjadi lambang kemuliaan ilahiah dan kemuliaan raja. Dalam relif Borobudur sering sekali payung di atas Buddha Gautama, ini merupakan sebuah pengormatan pada Buddha sebagai raja dan juga menghormati totalitas kosmisnya (Luween. 2007: 57).Dalam kebudayaan Indonesia kemudian payung digunakan oleh orang-orang berpengaruh, raja-raja, atau orang suci. Keberadaan payung bergagang (seperti dalam gambar 1.) tidak begitu banyak dikenal masyarakat Nusantara, karena benda itu memiliki nilai kasta atau sistem hirarki simbol kekuasaan yang tidak mungkin digunakan rakyat jelata.
Salah satu adegan dalam kisah Mahakarmmawibhangga yang terdapat dalam relif Candi Borobudur, terlihat serombongan orang sedang memayungi orang penting (penguasa). Sumber gambar
|
Menarik untuk ditelaah bahwa caping yang berbentuk seperti payung lebih tenar dan merakyat dalam khasanah pelindung kepala. Menggunakan caping sangat praktis, dalam pandangan desain modern caping sepertinya telah mempertimbangkan nilai fungsi yang efektif. Para petani yang sibuk bekerja akan memaksimalkan fungsi kedua belah tangannya, akan terganggu bila menggunakan alat pelindung yang bergagang seperti payung, maka caping dibuat langsung dapat menempel di kepala petani.
Berbeda dengan payung yang digunakan oleh para raja/penguasa, terdapat gagang payung sebagai pegangan para pelayan atau para pembantunya. Replika payung-payung pembesar sering kita jumpai dalam upacara pernikahan yang sarat dengan simulasi kerajaan atau kekuasaan.
Seorang petani menggunakan caping, sumber gambar
|
Menarik untuk ditelaah bahwa caping yang berbentuk seperti payung lebih tenar dan merakyat dalam khasanah pelindung kepala. Menggunakan caping sangat praktis, dalam pandangan desain modern caping sepertinya telah mempertimbangkan nilai fungsi yang efektif. Para petani yang sibuk bekerja akan memaksimalkan fungsi kedua belah tangannya, akan terganggu bila menggunakan alat pelindung yang bergagang seperti payung, maka caping dibuat langsung dapat menempel di kepala petani. Berbeda dengan payung yang digunakan oleh para raja/penguasa, terdapat gagang payung sebagai pegangan para pelayan atau para pembantunya. Replika payung-payung pembesar sering kita jumpai dalam upacara pernikahan yang sarat dengan simulasi kerajaan atau kekuasaan.
Relasi payung dan kekuasaan
Melihat hubungan kekuasaan dengan payung memang telah terbangun secara jelas pada zaman dahulu, realitas payung berfungsi memayungi raja, oleh dayang-dayang, pembatu, budak raja, secara protokoler akan memayungi kemanapun pergi, payung raja adalah simbol kebesaran, kekuasaan, dan keagungan. Pada kondisi ini ‘pelindung’ raja adalah pemegang payung yang tidak memiliki sistem kekuasaan atau struktur dalam lingkaran kekuasaan, ia tetap kelas ‘pembantu’. Namun atas kuasa raja, kasta rendah itu bisa mendapatkan peran begitu penting (dekat dengan raja) bahkan melindungi raja dari terik panas atau hujan.
Melihat payung sebagai pelindung dalam arti konotatif, maka payung pada posisi itu sebagai tanda yang berkaitan dengan kekuasaan, penguasa, memiliki hak penuh, yang dapat menjaga, melindungi, memayungi agar terhindar dari hal-hal negatif. Payung sebagai alat pelindung akan melindungi siapapun yang berada dibawahnya, payung yang berada diatas dan objek yang terpayungi berada dibawah.
Dalam sejarah kebudayaan nusantara yang memiliki kuasa adalah kaum pria. Raja-raja nusantara lebih banyak pria, dalam cerita-cerita posisi wanita sebagai objek, rebutan, hasrat untuk dikuasai, sekaligus dipuja mengenai kecantikannya. Kita bisa membaca cerita perang Bubat yang berusaha mempersunting Dyah Pitaloka, atau cerita tentang Ken Arok yang terpikat melihat betis Ken Dedes. Peranan wanita dalam stuktur cerita lebih sering muncul sebagai objek. Maka kekuasaan untuk memayungi adalah ciri-ciri yang identik dimiliki oleh kaum pria/maskulin, memimpin atau memiliki jiwa kepemimpinan (Handayani dan Novianto. 2004:162).
Wanita ‘merebut’ payung
Produk-produk pada era sekarang sudah dapat diidentifikasi dan menjurus pada gender, tetapi ada pula beberapa produk yang multi gender, bisa digunakan oleh pria atau wanita. Memperbincangkan sebuah benda sesuai dengan gender berarti sedang memperbincangkan bentuk-bentuk dan fungsi yang berbeda berdasarkan kelompok jenis kelamin. Pola yang sama juga ditemukan dalam fashion dan pakaian jika dipandang dalam artian gender dan jenis kelamin. Sangat menarik untuk menjelaskan tentang perbedaan jenis kelamin dalam busana ditandai ada atau tidaknya karakteristik tertentu. Padahal perbedaan gender dalam busana ditemukan dalam makna yang dianggap berasal dari satu anggota budaya guna memunculkan atau tidak memunculkan karakteristik tersebut (Barnard. 2007:161).
Pria bertindak, wanita tampil. Pria memandangi wanita. Wanita memandang dirinya sendiri yang sedang dipandangi (Berger. 1972:47). Ungkapan ini memberikan tanda bawa ihwal tindakan wanita yang lebih bersifat ‘pamer’, ingin tampil, terlihat berbeda, dan sebagainya. Wanita-wanita selalu mempersolek diri berjam-jam dihadapan kaca, menyibukkan diri dalam memilih warna pakaian agar terlihat sepadan. Payung dalam genggaman wanita akan terasa cocok karena payung sebagai properti yang menyuguhkan kesan ‘show’ memperlihatkan sosok raga yang sedang tampil karena membawa payung.
Payung dalam genggaman pria tidak perlu dilihat sebagai benda feminis, mewakili gender. Tetapi mungkin saja secara histori payung sendiri tidak membumi dalam benak pria indonesia, karena dalam sejarah payung hanya untuk raja-raja dan pemegang payung untuk raja memiliki posisi lemah (pembantu). Bahkan jika kita hubungkan dengan konsep wildman untuk menggambarkan sosok pria. Dalam bahasa Inggris mungkin nampak kasar, galak, biadab dan berbahaya, tetapi yang dimaksud wildman adalah pria yang berhubungan akrab dengan alam terbuka, pola hidup di gurun pasir, hutan rimba memerlukan sikap tekad bulat, untuk membuka ladang dan pemukiman baru. Pada posisi ini kita melihat wildman sebagi arketip dari pria (Bock.2011:30).
Dalam konsep wildman ini sesuai dengan pendapat Rheigold dan Cook, yang mengatakan bahwa laki-laki lebih berkarakter aktif, kompetitif, agresif, dominan, mandiri, dan percaya diri. Sedangkan wanita menurut Boverman (1972) lebih bersifat manis, rapuh, kalem/tenang, emosional, ekspresif, sensitif, dan taktis. Dalam catatan Bakan (1966) laki-laki identik dengan sifat kemandirian, dan wanita selalu dikaitkan dengan sifat kesalingtergantungan. (Handayani dan Novianto.2004:162).
Penutup
Karekteristik bisa menunjukan sifat, prilaku, yang menjadi identitas suatu kelompok. Secara umum dimensi maskulin dan feminin selalu dikaitkan dengan keyakinan yang diterapkan pada gender, yaitu pria dan wanita. Dimensi ini dapat dikaitkan dengan generalisasi yang dibuat orang tentang wanita atau pria, ciri-ciri yang dianggap mewakili sifat lelaki atau wanita, generalisasi ciri dalam tingkah laku yang dianggap merepresentasikan kelompok gender. Generalisasi peran-peran yang cocok untuk masing-masing gender. Keyakinan umun mengatakan bahwa sifat dan peran yang dianggap sesuai untuk lelaki adalah sifat dan peran-peran maskulin, dan untuk wanita akan lebih pas untuk peran-peran dan sifat feminin (Handayani dan Novianto. 2004:160).
Tidak ada dosa ketika pria Indonesia menggunakan payung, keenggan menggunakan payung apakah karena imagologi pengguna payung yang kemayu atau lemah? Atau karena belum adanya desain payung yang lebih besifat ‘wildman’ ?. Bahkan raja-raja yang memiliki kekuasaan penuh, tidak ‘kuasa’ membawa payung sendiri, ia bahkan harus sibuk mencari ajudan untuk memayunginya.
- Barnard, Malcom. (2007):Fashion sebagai Komunikasi: Cara Mengkomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas dan Gender, Yogyakarta, Jalasutra.
- Handayani, Christina. S. Dan Novianto, A. (2004):Kuasa Wanita Jawa, Yogyakarta, LKIS.
- Bock, Wolfgang, SJ. (2011): Menjadi Pria Sejati, Yogyakarta, Kanisius.
- Luween, A. Th. Van.(2007):Agama Kristen dalam Sejarah Dunia, Jakarta, Gunung Mulia.
Comments
Post a Comment