Bapakku dulunya kontraktor, mahasiswa yang mengontrak studio di apartemen sambil bawa istri dan anaknya. Pada suatu hari, Ibuku meminta pertolongan padaku, untuk membelikan sekaleng susu. Biasanya aku yang sering minta pertolongan. Ini aneh bukan?! Tentunya aku senang. Dengan perjanjian, uangnya tolong dilebihkan, aku juga mau jajan. Terdengar bagus, seperti saling tolong menolong.
Kemudian melangkahlah aku menuruni tangga
apartemen itu dengan gembira. Lalu berjalan ke warung yang hanya 20 meter dari
pintu keluar. Bukan pintu kamar ayahku yah, pintu apartemen di lantai bawah.
Itu catatannya.
Aku membeli satu kaleng susu, ukuran
biskuit regal yang ada rantenya. Itu susu bubuk bukan susu cair. Oh maaf di
Madinah waktu itu penjual susu tidak pernah merante kalengnya, jadi jangan
salah faham yah, nanti dikira saya menyebut penjual susu di Madinah merante
kaleng. Itu kan tidak baik. Oke kita lanjutkan. Kelebihan uang aku belikan
biskuit bercoklat mirip Bengbeng.
Dengan senang aku pulang, membaca salam
depan pintu kamar, ibu menjawab dan membuka pintu kamar.
“Assalamualaikum wahai Kanjeng Ratu. Ini,
ananda telah selesai menjalankan perintah kanjeng. Terimalah persembahan susu
bubuk sekaleng. Jika diperkenankan ananda ingin istirahat dahulu”. Itu
kira-kira dialogku jika dijadikan drama. Tapi aslinya tidak begitu. Karena
setelah pintu dibuka langsung saja aku kasih si susu itu, dan mulutku penuh
dengan biskuit cokelat. Tidak ada dialog yg sedramatis itu.
Lalu ibu membuka susu perlahan, cukup perlahan
saja tak perlu buru-buru, ini kan bukan perlombaan. Santai saja. Tapi ibuku
lalu kaget. Kamu juga pasti kaget seperti ibuku. Kenapa dalam kemasan kaleng
susu ada kartu? Diambil, diperhatikan dan diterawang. Betul secarik kertas
kartu lengkap dengan tulisan berbahasa Arab, bukan bahasa Inggris apalagi
Sunda.
Ibuku hanya mengerti sedikit saja bahasa
Arab, tidak bisa membaca Arab gundul. Ibu bertanya padaku, yang masih mengunyah
coklat gigitan terakhir, mulutku sibuk saat itu. Nah ini seperti perbuatan sia-sia,
sebab aku ini masih TK, belum masuk calistung bahasa Arab juga. Mengapa
bertanya padaku ibu?
Lalu kami pun bersepakat bahwa pesan itu
harus dibaca oleh orang setingkat mahasiswa yaitu bapakku. Saat bapak pulang,
ibu tak membuang waktu menyampaikan penemuan misterius itu, dan segera
menyodorkan barang bukti kertas kartu.
Bapak dengan cermat komat-kamit membacanya.
Kamu menyangka aku dan ibu ikut membaca juga? Oh tentu tidak, kami membiarkan
ahlinya mengerjakan tugas dengan baik, kami tenang-tenang saja.
"Alhamdulillah… Mah, Nung ini hadiah
langsung… kertas kartu ini harus kita bawa ke distributornya, ditukar dengan
hadiah besar". Itulah kira-kira ucapan bapak. Kamu harus tau saat itu
sebetulnya aku bingung sendiri, kenapa tiba-tiba ibu bapakku mengecup aku
berkali-kali sambil kegirangan dan bilang alhamdulillah berulang-ulang.
Esok harinya mobil sedan merah bapak
menembus padang pasir, ke alamat yang ada di kartu mau jemput sesuatu. Aku
penasaran berharap dapat motor-motoran elektrik yang bisa aku tunggangi, ada
hasrat ingin ikut trend anak kecil Madinah saat itu. Alamat kantor distributor
susu itu tidak akan aku sebutkan, sebab itu rahasia perusahaan, khawatir ada
yang menyalah gunakan. Selain rahasia juga kebetulan aku lupa.
Setiba di tujuan, kami disambut tuan rumah
dengan ramah, sebut saja bang Toyyib. Bapak was wes wos dalam bahasa Arab, dan
menyerahkan kertas kartu dari susu yang kubeli di warung itu. Bang Toyyib
menerimanya lalu berjongkok di hadapanku tersenyum manis dan menjabat tangan. Mohon
diingat yah, tangannya lebih gede dari tanganku.
Bergegaslah mahasiswa dan anak TK ini masuk
mengikuti bang Toyyib, lebih dalam ke kawasan itu. Salah seorang karyawan
menghadap bang Toyyib, mendengarkan pengarahan serta instruksi, mungkin tausiah
juga. Pokoknya pake bahasa Arab semua. Dan segera kamu akan tahu nasib karyawan
itu. Bang Toyyib ternyata meminta pertolongan padanya supaya mengangkut tiga
kardus ukuran besar ke mobil bapak.
Dua kardus pas di bagasi, satu kardus di
kursi belakang, aku di depan bersama supirku, yaitu bapakku. Selama perjalanan
pulang hati kami dag dig dug der dor ingin segera tahu apa gerangan isi tiga
kardus ini. Entah bagaimana rasanya, yah seperti itulah. Bayangkan ada hadiah
tiga kardus besar, saudaraku.
Aku tidak perlu ceritakan teknis
pengangkatan kardus-kardus itu ke aparteman oleh bapakku, bagaimana usahanya,
digotong kah, bagaimana rasanya mengangkat seberat apa, itu aku nilai tidak
penting, juga tidak perlu. Nah yang aku perlu ceritakan adalah ketika kami
membuka salah satu kardus hadiah itu.
Memegang gunting, bapak membaca bismillah
diikuti oleh jamaah yg terdiri dari aku dan ibu. Jreng... ternyata kardus itu
isinya kaleng-kaleng kecil berisi susu. Sekecil apa, sebagai referensi gambaran
dapat dilihat kira-kira seukuran kaleng susu bubuk terkecil di belakang kasir
Alfamaret. Tiap kardus berisi 20 kaleng, jadi kami punya stok susu 60 kaleng.
Wowoww.
Sejak hari itu kami mendeklarasikan tidak
akan pernah membeli susu lagi selama persediaan masih ada. Hari itu kami menyatakan
gembira luar biasa, tidak ada masalah walau hadiah itu bukan motor-motoran.
Tapi aku harus jujur di sini bahwa aku tidak terlalu suka susu. Ibuku yang
paling suka. Bapak juga kurang suka. Entahlah susu di atas susu ini akan
tersegel terus hingga berapa lama. Kamu mau?
Suatu hari aku iseng memasukkan setengah
gelas air ke dalam salah satu kaleng, bagaikan ilmuwan sedang melakukan
penelitian kimia. Kugoyang-goyang dan aduk-aduk dengan dan tanpa sendok.
Hasilnya banyak susu bubuk menempel pada sendok. Mirip permen. Aku makan dan
juga jadi mainan. Ibu dan bapakku belum tahu.
Setelah itu aku sering melampiaskan
permainan ini pada kaleng-kaleng susu yang lain. Saat ibu tahu, aku terkesima
juga. Alibi apa yang membuatku bisa mengelak, siapa lagi yang iseng begitu,
mana mungkin itu perbuatan mahasiswa. Ibu mau marah, tapi idak berteriak. Hanya
geleng kepala memicingkan mata sambil menahan senyum kecut, astagfirulah...
katanya begitu. Maapkan aku yah.
Tapi eksperimenku berhasil. Susu bubuk yang
kujamah itu berubah, semakin menyatu dan mengeras. Dalam kaleng banyak
gumpalan-gumpalan berkeliaran, bahkan ada yang keras seperti kelereng. Ini
bukan keajaiban, tapi diusahakan lewat tanganku tadi.
Bagaimanakah nasib akhir kaleng-kaleng susu
itu, tidak akan aku lukiskan. Karena takut terharu. Yang jelas sebagian sudah
dibagikan pada teman-teman bapak. Aku sendiri sekali lagi, jarang minum susu,
lebih sering memakan susu bulat keras yang hasil ekperimenku.
Memory hadiah susu ini sangat melekat bagi
kami bertiga, antara aku, bapak dan ibuku. Sebuah kejutan unik yang tidak
pernah terbayangkan juga. Seharusnya adikku juga tahu, tapi waktu itu adikku
belum ada, ibuku bahkan belum mengandungnya. Kejadian ini menjadi kenangan
ceria di suatu masa ketika kami di Madinah sana.
Desember 2015, saat itu Abah duduk lemah di
kasur, tampak kurus dan pucat, aku menghadirkan lagi cerita masa lalu itu. Dan
Abah tersenyum mengenang. Aku lihat air matanya menggenang. Mungkin ada selaksa
ingatan yang menghempas dirinya kembali ke masa muda yang penuh energi dan
mimpi, tidak terbayang akan serapuh sekarang ini.
Lalu agak bergetar Abah menyebut nama
sahabat-sahabat, yang beberapa sudah wafat. Rindu seakan meletup. Beberapa hari
kemudian Abah pun wafat. Dan diantara yang turut hadir shalat jenazah adalah
kyai Maimun Ali, salah satu sahabat yang Abah sebut namanya berselang lima
hari. Alhamdulillah. Kenangan ringan tapi penuh kesan: hadiah susu di atas
susu...😚😍
Comments
Post a Comment