Dejavu



Kamu pasti menduga aku akan sedih jika pindah rumah, sama sekali tidak. Sebab aku hanya terima beres, hanya membantu mengangkat mainanku yang berserakan di lantai ke kardus. Setelah itu bapakku yang mengangkut kardusnya kedalam mobil. Jadi tidak perlu sedih kan?

Awal mula datang dan tinggal di Madinah kami tinggal di apartemen. Ciyee keren, eh. Di sana cukup banyak apartemen alias rumah bertingkat, bersusun, satu gedung isinya puluhan kamar. Salah satu kamar itu berisi orang Pandeglang, bapak, ibu tambah aku. Aseli orang Banten yang sedang bertugas kuliah. Ibu dan aku bertugas melengkapinya saja.

Lokasi rumah tingkat ini sangat dekat dengan masjid Nabawi. Saking dekatnya, jika ingin pergi ke mesjid bersejarah ini cukup membuka pintu kamar, berjalan keluar melewati pintu yang terbuka, tutup lagi pintunya. Lalu turun tangga dari lantai lima, dan terus berjalan ke depan sekitar 100 meter lebih 500 meter. Jika hitungan meterannya kelebihan atau kurang mohon maaf lahir batin yah… Sekali lagi saking dekatnya, kami cukup berjalan kaki, karena di sana juga becak tidak ada.

Dari jendela rumah bisa terlihat pemakaman besar Baqi, yah rumahku dekat kuburan yang luas berhampar tanah merah lembut tanpa bebatuan. Begitulah lokasi rumah pertamaku ini penuh dengan semangat spiritual, walau aku tidak tau nama tempat dan alamatnya, siapa RT, RW, dan lurahnya. Camat dan bupati entah siapa. Yg kutahu hanya Raja Fahad yang berkuasa saat itu. Yang jenggotnya selalu ingin aku tiru jika kelak dewasa dan berjenggot juga.

Di tempat pertamaku ini tidak banyak cerita, tidak ada teman, aku hanya bermain dalam kamar bersama mobil-mobilan, kapal-kapalan. Jika lapar aku makan, jika haus aku minum, walaupun bulan Ramadan aku tetap makan dan minum. Karena aku masih balita.

Tiba-tiba aku pindah rumah, kenapa tiba-tiba? Jika tidak, maka tidak pernah tiba dan tidak terjadi juga. Apa yang terjadi hingga harus pindah? Itu hasil keputusan dan perundingan bapak dan ibuku. Aku tidak pernah diajak mikir tentang kepindahan rumah kami itu. Pindah ke mana? masih di Madinah juga. Bapakku masih betah tinggal di tempat yang banyak kurmanya. Ibu dan aku masih tetap ikut pastinya, tidak mungkin pindah masing-masing, nanti bapak kesepian.

Aku tidak ingat jam, tanggal, hari apa, minggu, bulan, tapi yang jelas sekitar tahun 80-an aku pindah menempati rumah kedua. Rumahnya ber cat kuning agak coklat atau coklat agak kuning. Posisi rumah tiga lantai ini sangat strategis, ada satu pintu masuk berwarna hijau. Pas depan pintu masuk itu ada jalan yang lurus sekitar 70 meter. Jika lurus terus maka akan menabrak bukit yang diatasnya ada mesjid yg biasa kami solat. Jika ingin selamat maka harus belok kiri, disitu ada lapangan pasir tempat biasa aku main.

Jalan yang lurus 70 meter itu sisinya berbeton tinggi. Kuberitahu kisi-kisinya supaya bisa menjawab soal ujian sejarah. Kenapa dibeton, apa pentingnya? Nah ternyata di sebelah situ ada tempat pembuangan sampah semodel Bantar Gebang, tapi untuk ukuran sekampung besar bukan sebesar ibu kota. Jadi kira-kira 70x70 meter. Iya, rumah baruku bersebelahan dengan tempat sampah besar. Sampahnya sebetulnya kecil, hanya seplastik dua plastik saja, dari ratusan rumah yang penghuninya pada membuang sampah ke sana. Tentu bau sangat, tapi lama-lama juga bersahabat.

Para penghuni rumah ini adalah mahasiswa Indonesia yang sudah beranak dan beristri. Ada dua mahasiswa yang sudah beristri dan membawa anaknya. Bapakku dan satu lagi teman bapakku, tapi aku lupa namanya, dan juga lupa nama anaknya yg waktu itu masih kecil, lebih kecil dari aku yg berumur 4 tahun.

Aku yakin kepindahan rumahku ke tempat baru itu juga hasil rapat dan dengar pendapat para konco mahasiswa Indonesia yang di Madinah kala itu. Mereka sepertinya bertekad bersatu untuk membuat keluarganya bahagia. Sayangnya para mahasiswa itu tidak pernah mengajak rapat dan dengar pendapat pelajar TK yg suka makan prekedel ini.

Iya, rumah kedua itu menjauhkan aku dengan masjid Nabawi dan Raudhahnya yang tiada penghalang bagi para pendo'a. Aku tak bisa memandang pemakaman Baqi' tempat para syuhada bersemayam. Aku tidak merasakan itu lagi. Akibatnya bapakku harus memacu mobilnya lebih lama jika kami ingin ke sana untuk solat di masjid Nabawi lagi. Dan itu jarang.

Bagian Ini adalah laporan harta kekayaanku sewaktu kecil. mainanku 2 karung, kalo masuk kardus bisa jadi 4 kardus besar, atau 6 kardus indomie. Harta dan kekayaanku itu adalah hasil usahaku merengek tiap pulang solat dari mesjid Nabawi, dengan catatan tingkat keberhasilan rengekan saya lebih tinggi jika pulangnya berdua ibu. Aku tidak begitu berdaya kalau pulang digendong bapak.

Comments