Warna Nusantara di Bulan Ramadhan



Nusantra dan kebudayaan

Negara ini dahulu dikenal dengan nama Nusantara atau Nuswantara, terdiri dari berbagai kerajaan kecil dan besar, terdiri dari berbagai bahasa, pulau. Masing-masing tempat memiliki aneka ragam hayati dan berbeda satu tempat dengan tempat lain. Tanaman ini tumbuh disana, rempah ini ada di sini, buah itu hanya ada di dataran itu, dan lain sebagainya. Maka masing masing tempat itu memiliki ciri. Masyarakat yang mendiami tempat-tempat itu memanfaatkan kondisi lingkungan dan beradaptasi, mengolah hingga akhirnya menghasilkan, mencipta, berkarya, memberi rasa, memberi tanda, membentuk sesuai dengan kondisi daerah.

Semua kerajaan dan wilayah bisa saling mempengaruhi, saling tukar informasi, saling tukar pengetahuan. Bahkan mendapat pengaruh dari pedagang, penjelajah, atau dari para penjajah pada masa kolonial. Percampuran budaya di Nusantara banyak terliaht dari Cina, Arab, Eropa. Sangat mungkin percampuran budaya lahir karena perkawinan etnis, semakin memperkaya khasanah kebudayaan Nusantara. Tentunya agama banyak berpengaruh dalam penyebaran dalam penitisan kebudayaan.

Pertukaran informasi kebudayaan dari luar Nusantara atau dari masing masing daerah yang kemudian dapat diterima oleh kelompok masyarakat lambat laun akan menjdi kebudayaan lokal. Karena hal itu telah diterima oleh kalangan masyarakat setempat, diikuti, digunakan, dikembangkan menjadi kreasi yang lebih baru. Melacak percampuran kebudayaan yang paling mudah bisa melalui unsur-unsur kehidupan berbasyarakat, seperti bahasa, arsitektur, agama, juga makanan.

Kita bisa melihat pada peninggalan arsitektur di berbagai kota di Indonesia. Banyak sekali bangunan yang menggunakan rancangan seperti di negara Eropa pada zamannya. Seperti di Bandung  dengan Gedung Sate,  atau Museum Fatahilah Jakarta, dan lain-lain. Kemudian kita bisa tengok percampuran budaya Agama Hindu dan Islam dalam satu bentuk arsitektur Masjid Kudus. Dalam rangka menghargai pemeluk agama Hindu wilayah itu, maka Sunan Kudus memerintahkan Muslimin menyembelih kerbau jika ingin menyelenggarakan qurban, bukan sapi yang di hormati oleh pemeluk agama Hindu. Aturan ini berlaku hingga sekarang. Itulah salah satu bukti akulturasi dan toleransi di Indonesia

Rempah-rempah, apakah hanya benda ini yang membuat Nusantara terkenal pada zaman kolonial dulu? Saya tidak begitu percaya. Sepertinya ini hanya bagian kecil, sebaba kekayaan Negri ini tidak hanya dari aneka ragam rempah, tapi juga keindahan, keluasan, dan memiliki kandungan bahan tambang yang sepertinya tak pernah habis, negri ini sangat makmur. Tetapi dalam buku-buku sejarah banyak membahas para penjajah datang untuk bertransakti rempah-rempah. Yang menjadi soal apakah memang sedahsyat itu aroma rempah-rempah nusantara dalam hudung manusia Eropa, dalam cecap lidahnya hingga mau menduduki Nusantara 350 tahun?  Ah perlu penelitian lagi, tapi juga sebagian tetap tidak percaya pada penelitian sejarah, dengan alasan sejarah akan ditulis oleh orang yang berkepentingan atau oleh penguasa.

Sekiranya ingin bukti, sejauh mana kesaktian rempah-rempah dalam masakan negri ini, maka kita harus mencoba masakan-masakan nusantara. Terkenal penuh dengan bumbu atau rempah-rempahnya, harum semerbak. Kenapa banyak bumbu? Sebaba masyarakat memberdayakan alam sekitar yang memumbuhkan tanaman-tanaman rempah itu. Masakan Tradisional Nusantara biasanya memakan waktu lebih lama. Memasak Gudeg Jogja konon bisa memakan waktu sehari, juga sama dengan ayam Betutu yang di pendam dalam sekam seharian, atau mengolah dodol yang harus di aduk oleh lelaki bertenaga kuat, karena tidak boleh berhenti, begitupun dengan rendang  yang jika tepat memasaknya bisa awet selama 3 bulan, padahal rendang itu dimasak tanpa bahan pengawet tambahan atau kimiawi. sungguh unik, aneh, kaya, dan luar biasa makanan manusia Nusantara ini.

Menyambut Ramadhan di Indonesia
Lihatlah berbagai macam ekspresi dan aksi kegembiraan yang diluapkan masyarakat.  Kemudian uniknya masing-masing daerah memiliki curahan dan cara berbeda. Ada yang sibuk berkeliling, bersilaturrahmi mengunjungi sanak famili atau berkumpul pada rumah orang tua untuk saling bermaafan. Sebagian tempat anak-anak pada malam hari sebelum puasa berkeliling membawa obor berputar menyusuri rute desa, bersolawat, bertakbir, memuji keagungan Alloh SWT. Di kampungku budaya keliling membawa obor ini baru ada sekitar tahun 1990-an, kadang ini terjadi atau tidak, tergantung semangat pemuda yang aktif, dan ini sudah menjadi tradisi. Jauh sebelum itu pada bulan puasa sering ada acara adu bedug. Bedug dan kentrongan adalah hasil adaptasi budaya. Adu bedug itu membawa bedug ke kampung tertentu, dan saling adu jago memukul bedug, secara ritmik, durasi dan ketahanan pemukul, keunikan. Tapi tradisi ini hilang mungkin terlalu sulit membawa bedung  besar dan lebih sering berujung pada tawuran.

Tempat lain  tradisi menyambut Ramadhan para bapak mengadakan riungan membaca do’a di masjid selepas salat Taraweh pertama, setelah itu saling tukar besek berisi masakan rumahanan. Makanan kampung biasanya masakan tradisional warisan leluhur. Jika di daerah Pandeglang seperti pais cau (pepes pisang) pasung, apem, jojorong, bakak hayam (ayam bakar utuh), stup lauk emas, urab ( bihun, kacang panjang, buncis, dan sayuran lain), beberapa makana sulit diterjemahkan dalam bahasa Indonesia apalagi Inggris dan Jepang. Kemudian makanan itu dimasukan kedalam wadah yang disebut baskom. Jaman lampau wadah itu lebih besar dengan nama tenong, terbuat dari tembaga mirip baskom besar. Hari ini budaya ngariung di beberapa tempat mungkin sudah lepas dari masyarakat, jikapun ada, wadah yang besar besar itu sudah berubah sederhana menjadi nasi kotak atau besek keranjang plastik kecil.

Tradisi lain menyambut bulan puasa lainnya adalah, sebelum puasa harus mensucikan diri dengan cara mandi. Ibu, bapak, anak, tua muda, pergi ke sungai  atau sumur di sore hari sebelum besok puasa untuk mandi. Selain ekspresi spiritual batiniah juga ada ekspresi lahiriah, duniawiah, seperti berbenah rumah, mengecat pagar, tembok yang lusuh dan membereskan yang tidak beres, memperbaiki yang rusak (kita tidak bicarakan dahulu tentang hukum/fikih tentang tradisi-tradisi itu, sebagai penghormatan dan keyakinan yang telah mereka pilih).  Itulah sekelumit gambaran masyarakat di depan pintu gerbang bulan suci, menyambut kegembiraan dan perayaan kemuliaan Tuhan.

Jika Ramadhan tiba setiap muslim di berbagai tempat pasti bergembira, berbagai tempat ini bukan batas yang sempit, tetapi seluruh dunia merasakan kegembiraan sama, yaitu bertemu lagi dengan bulan suci yang penuh kemuliaan, penuh keberkahan, penuh dengan ampunan, penuh dengan do’a yang tak berbatas pula. Ukuran berkah yang keciil sekali adalah, melimpahnya orang-orang yang bersodaqoh, banyak orang memberi. Banyak masjid yang menyediakan buka bersama secara gratis, banyak orang-orang baik memberi makanan di lampu merah, di dalam kendaraan umum saat buka puasa, juga saat menjelang sahur. Selain bulan puasa mungkin mimpi kali, yah. Keberkahan bulan Ramadhan yang lebih besar kita tidak bisa ukur, selain mengucap syukur pada Alloh yang telah memberi kesempatan berjumapa kembali.

Kemudian keberkahan berikutnya dan keajaiban berikutnya adalah orang berpuasa ternyata bisa menahan nafsu “perut” dari subuh hingga magrib dengan bekal secukupnya dan keyakinannya. Semua kedudukan pada bulan ini sama, tidak ada bedanya. Si kaya dan miskin, punya dan tidak semua akan sama-sama kehausan dan kelaparan, tidak boleh berhubungan siang hari untuk suami istri. kemudian baru boleh melakukan itu setelah adzan magrib berkumandang hingga adzan subuh. Semua kedudukan pada bulan ini akan berjalan bersama, semua itu yang mengetahui hanya pelaku dan Sang Pencipta. Maka bulan Ramadhan ini adalah bulan melatih kejujuran bagi manusia, apakah dia jujur pada Allah SWT.

Mungkin pernah mendengar ungkapan, “Kalo iklan sirup sering tayang, itu tandanya sebentar lagi puasa”.  Nah memang bulan Ramadhan itu terasa sekali bekahnya. Air putih itu terasa sangat spesial, apalagi sirup yang di aduk es, sangat menggoda, padahal di hari biasa sirup tak begitu berharga. Makanan pada bulan ini biasanya sangat melimpah, jajanan pasti berderet pada sore menjelang buka puasa, terpajang di banyak tempat. Penjualnya banyak pula yang dadakan, artinya di hari biasa mereka belum tentu berjualan dan menjual dagangan itu pula. Mungkin makanan yang banyak inipun tanda berkah Ramadhan.

Ekspresi dalam menyambut kegembiraan Ramadhan menyebar hingga pada institusi, lembaga, industri, mall, hotel, supermarket, tv, radio. Semua tempat itu ikut “berbicara dan bersuara” mendukung keberlangsungan bulan suci. Tempat-tempat mendekor ulang dan mendesain suasana Ramadhan. Merubah beberapa sudut sebagai-simbol adanya ikatan emosional suasana. Biasanya simbol simbol itu berkesan dengan kondisi timur tengah sebagai tempat lahirnya agama Islam. Bahkan huruf-huruf yang digunakan untuk menulis kalimat banyak menggunakan kaligrafi yang berkesan ke arab-araban, script, atau tulisan tangan. Tapi sebagian lain juga memberikan solusi dengan budaya lokal dan suasana kedaerahan. Suasana pedesaan yang tentram dengan padi mulai menguning, bedung dan kentongan, juga makanan-makanan ciri khas daerah.

Mensyukuri nikmat Ramadhan dalam hidangan, merupakan hal menarik ketika suatu malam berbuka di Hotel Premier Best Western La Grande Hotel di Bandung. Setelah mencicipi menu tajil yang manis-manis, sepertinya sajian aneka olahan daging sapi begitu memikat, terutama Empal Gentong khas Cirebon yang rempahnya semriwing. Ternyata ada informasi lain bahwa menu di tempat ini akan berubah setiap hari selama Ramadhan. Diperkirakan 100 menu lebih khas Nusantara siap di sajikan. Konsep sajiannya berbuka puasa sesuka hati alias all you can eat buffeat. Sebuah eksplorasi yang luar biasa dalam merayakan bulan penuh berkah. Tidak lupa jika berbicara makanan Nusantara belum lengkap tanpa sambal, untuk itu mereka membuat 34 jenis sambal dari berbagai daerah.

Aneka sambal di Hotel Premier Best Western La Grande Hotel Bandung. foto: Ima Rochmawati
Berbuka puasa adalah suatu waktu yang sangat menggembirakan, masa penantian yang didambakan. Banyak orang ingin meluangkan waktu menunggu berbuka puasa dengan berbagai macam cara. Dalam istilah sunda adalah ngabuburit (mencari sore) dan bahasa ini sepertinya sudah menasional. Tentunya ngabuburit yang baik adalah cara meluangkan waktu yang tidak mengurangi pahala puasa, malah jika bisa menambah pahala puasa. Dalam sebuah hadist dikatakan orang yang berpuasa itu memiliki dua kegembiraan, pertama saat dia menunggu buka puasa dan kedua saat dia bertemu dengan Tuhan.

Nikmat mana lagi yang kau dustakan.

Comments

  1. hii iya budaya dan kekayaan kuliner kiat begitu beragam ya dan enak2 tentunya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kuliner sangat memberi tanda dan identitas wilayah atau daerah, jadilah sebuah kebudayaan. Indonesia kaya dengan jenis makanan, enak-enak pula. Maka tidak aneh jika rendang dan nasi goreng termasuk makanan terlezat sedunia. 😂😋

      Delete

Post a Comment