Iftitah
Melihat desain surat undangan pernikahan, banyak mengutip ayat-ayat Al-Quran yang ditulis dengan huruf Arab sebagai kalimat pembuka dan petuah. Namun belakangan, banyak kelompok orang memutuskan untuk mengkonversi huruf Arab ke dalam huruf latin. Bacaan masih sama, yang berbeda adalah bentuk fisik teks antara Arab yang dikonversi menjadi huruf Latin. Cara ini dilakukan untuk mengurangi kemungkinan si-penerima membuang surat undangan tersebut ke tong sampah. Karena ada kepercayaan terhadap ‘huruf Arab’ tak lain ‘ayat-ayat Al-Quran’ tidak boleh disimpan disembarang tempat apalagi sampai dibuang. Karena pamali (sunda: berdosa) jika orang memperlakukan bagian dari ayat Al-Quran dengan tidak baik.Lebih jauh beberapa kepercayaan dalam agama Islam justru mempercayai unsur mistis dalam goresan huruf Arab. Sebutlah azimat, wafaq, isim yang pada prakteknya dibuat menggunakah huruf-huruf Arab, menggunakan layout/pola tertentu, menuliskan angka-angka, melalui proses ritual tertentu, yang akhirnya dapat dipercaya memberikan kekuatan supranatural. Pemahaman tidak seluruhnya seluruh umat Islam sepakat, karena beberapa ulama juga menggolongkan hal tersebut sebagai prektek kemusyrikan yang ditentang dalam ajaran Islam.
Huruf Nusantara
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang baru lahir terdiri dari berbagai suku bangsa. Dahulu penduduknya hasil migrasi dari tempat lain, dan secara turun temurun telah tinggal di wilayah geografis Indonesia, yang kemudian merasa bahwa tanah itu adalah tanah airnya dan sebagai pribumi. Indonesia sebagai bangsa terbentuk karena ada kesepakan politik dari masing-masing wilayah untuk menjadi satu negara yang terbebas dari penjajahan bangsa lain. Awalnya terdiri dari satuan-satuan etnik yang pembentukannya pada masa pra-sejarah, kemudian muncul kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan, terjadi setelah bagian tertentu dari bangsa menyerap konsep-konsep keagamaan, tata masyarakatan, dari bangsa bangsa lain yang telah berpengalaman bernegara. Sebagai catatan bangsa Indonesia banyak dipengaruhi oleh agama-agama besar (Buddha, Hindu, Islam) yang membawa sejumlah suku bangsa kedalam interaksi lintas budaya, menimbulkan perubahan-perubahan dalam tatanan masyarakat masing-masing (Sedyawati.2010: 315-317).
Dr. Douwes Dekker atau Setiabudi menyebutkan istilah Nusantara pada tahun 1930 untuk seluruh kepulauan yang berada dibawah jajahan Belanda. Sebutan Nusantara pertama kali digunakan sekitar 15 abad yang lalu, tertuang dalam deretan naskah-naskah, memiliki arti pulau-pulau selain pulau Jawa dan Bali. Sebagai cikal-bakal negara Indonesia, Nusantara menggunakan bahasa melayu sebagai sarana komunikasi. Dalam catatan Ajip, Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kurang lebih 400 bahasa, beberapa daerah telah memiliki sejarah panjang dalam penggunaan bahasa, bahkan kini dipakai oleh jutaan orang sebagai alat komunikasi(Rosidi. 1995:101-102).
Sejumlah sistem tulisan (aksara,huruf) yang digunakan di Indonesia baik pada masa silam dan masa kini asalnya dari luar, masa lalu ada tulisan Siddhamatrka dari India, Pallava India selatan kemudian berkembang menjadi tulisan Nusantara kuno untuk wilayah Jawa akan dikenal sebagai aksara Jawa kuno, juga suku-suku lain di Indonesia yang menjadi cikal bakal huruf daerah (Sedyawati.2010: 65-66). Pendapat tersebut dipertajam oleh Ajip Rosidi (1995:102) peradaban tulisan atau huruf Nusantara sebelum Islam menggunakan huruf dari bahasa masing-masing, dalam menuliskan karya-karyanya sastera dan lainnya. Masuknya pengaruh agama-agama besar dari luar yang kelak akan mengubah kebudayaan, khususnya dalam aksara.
Huruf Arab dalam akulturasi budaya di Indonesia
Islam sebagai agama dan sebagai arus budaya tidak dapat dipastikan kapan memasuki wilayah Nusantara. Dalam sebuah catatan artefak di wilayah Leran (Gersik), terdapat sebuah batu bersurat dalam bahasa dan huruf Arab memuat keterangan tentang wanita yang meninggal yaitu Fatimah Binti Maimun, tertulis tahun 1028 Masehi. Pendapat lain mengacu pada catatan Marco Polo yang pernah singgah di Aceh Utara tahun 1292, dalam perjalanan dari Tiongkok menuju Persia melalui laut. Di wilayah Perlak, Marco Polo menemukan komunitas (penduduk) yang memeluk agama Islam dan pedagang muslim asal India. Marco Polo sempat mengunjungi berbagai tempat di ujung Utara Sumatra dan menemukan penduduk setempat belum memeluk agama Islam. Namun di Samudra Pasai ditemukan makam-makam raja Islam, salah satunya adalah Sultan Malik Al-Saleh tahun 676 H / 1297 M, ini menandakan sebelum Marco Polo datang Samudera Pasai telah diislamkan dan yang memerintah bergelar “Sultan” (Soekmono. 1981:42).
Islam di Aceh pada saat itu telah melembaga, artinya kultur Islam telah terakomodasi dalam kultur setempat. Penulis barat menganggap bahwa tahap penggunaan simbol-simbol Islam adalah permulaan masuknya Islam ke dalam suatu wilayah. Mereka berpendapat bahwa masuknya Islam ke Nusantara pada abad XIII, ketika pertamakalinya simbol-simbol Islam digunakan di Aceh antara lain berupa gelar sultan untuk sang penguasa, pemakaian huruf Arab untuk dokumentasi resmi negara, penggunaan tahun Hijriyah, adanya mesjid kerajaan untuk sultan sholat Jum’at (Putuhena. 2007:91-92)
Fase huruf nusantara yang awalnya menggunakan huruf yang dibawa oleh pengaruh agama dan kepercayaan Hindu, kemudian mengalami pergeseran setelah setelah pengaruh agama Islam menyebar di Nusantara. Begitu kuat pengaruh agama Islam hingga karya-karya sastera melayu serta buku-buku ditulis menggunakan huruf Arab. Menariknya tulisan-tulisan yang menggunakan huruf Arab dalam naskah-naskah nusantara, bukanlah Arab sebagai bahasa Arab. Manusia Nusantara hanya meminjam huruf Arab sebagai media tulis, tapi secara bahasa tetap menggunakan bahasa melayu atau bahasa daerah.
Berdasarkan penelitian Rosidi, gaya tulisan Arab ini di sebut Arab Jawi (1995:268), atau Arab Pegon. Dalam bahasa Jawa Pegon artinya menyimpang. Memang tulisan Pegon terasa aneh (menyimpang) secara visual tulisannya menggunakan visual Arab, cara membacanya mengikuti kaidah bahasa Arab, dari kanan ke kiri, namun jika orang Arab turut membaca naskah Pegon tentu akan menemui kesulitan, sebab bahasa yang digunakan Pegon bukanlah bahasa Arab.
Jejak aksara Pegon pertama kali ditemukan dalam sebuah prasasti dengan huruf Arab namun mengeja teks bahasa melayu, ialah sebuah tulisan yang terdapat pada batu Terengganu (prasasti Terengganu) yang bertahun 702 H/1303 M. Menurut pendapat Hasyim Musa, Script Arab yang diadaptasi oleh bahasa Melayu untuk mengeja itu dikenal dengan tulisan Jawi. Namun dalam pemberian nama Hasyim Musa merujuk pada Omar Awang tidak tahu pasti siapa yang memberi nama tulisan tersebut. Ia menyangkal nama tulisan Jawi berkaitan dengan nama Jawa atau pulau Jawa, karena tulisan Pegon telah diperhunak di wilayah sumatera dan tanah semenanjung sebelum Jawa jatuh ke orang Islam pada 883 H/1468 M. Kemudian Awang berpendapat perkataan Jawi kemungkinan berasal dari kata Al-Jawah sebutan untuk pulau Sumatera oleh Yaqut Abu Al-Fida dan Ibnu Batutah sebelum pertengahan Abad ke-14 (Uka. 2009:291).
Huruf dan kitab suci
Membicarakan huruf Arab tidak lepas dari pengaruh kekuasan, agama, dan politik yang mengamininya. Huruf Arab yang dibawa oleh pengaruh agama Islam memberi cara baru dalam dialog kebudayaan antara ‘tamu’ dan ‘tuan rumah’. Agama Hindu membawa pengaruh tulisan dari India masuk ke Indonesia. Aksara Pegon hasil kompromi (akulturasi) yang digunakan untuk penyebaran informasi melalui media tulis-menulis. Selain itu secara bahasa melayu yang kelak akan menjadi bahasa Indonesia banyak memungut bahasa Arab. Mackey menjelaskan situasi itu terjadi karena adanya dwibahasa dalam masyarakat, mengubah kekhasan butir asing, perubahan kandungan budaya, makan, peran gramatikal, lafal, dan fonoliginya (Ruskhan. 2007:29). Silahkan buka catatan tentang evolusi huruf
Al-Quran sebagai kitab suci setiap ayatnya mengandung pesan–pesan agama, sebagai pedoman yang harus dilaksanakan. Al-Quran terdiri dari 114 surah, 6.616 ayat, 77934 kata, 323.671 huruf. Al-Quran diturunkan diwilayah Makkah (makiah) dan Madina (madaniah) ( Al-Faruqi. 2001:136). Membaca dan mendengar bacaan Al-Quran atau mempelajarinya dalam kepercayaan agama Islam mendapatkan ganjaran tinggi dan memiliki nilai spiritual lebih.
Membaca Al-Quran tidak seperti membaca tulisan Arab biasa, sesuai dengan tata cara/ petunjuk, sistem membaca terangkum dalam ilmu tajwid. Walau Al-Quran secara tulisan dan bahasa menggunakan tulisan dan bahasa Arab, namun untuk memahami maknanya perlu menggunakan ilmu tersendiri (tafsir). Terlebih jika tidak mengerti bahasa dan tulisan Arab tentu akan menemukan kesulitan yang lebih jauh. Zaman ini bukan hal yang sulit untuk memahami kandungan Al-Quran, kita dapat dengan mudah menjumpai berbagai tafsir serta terjemahan dalam berbagai bahasa. Salah satu cara untuk menanggulangi kesulitan dalam membaca Al-Quran berhuruf Arab maka kini terdapat Al-Quran dengan mengkonversi tulisan Arab kedalam tulisan latin, atau melatinkan tulisan Al-Quran. Setidaknya jalan ini dapat mempermudah pengucapan ayat-ayat Al-Quran bagi orang yang asing mengenain baca-tulis Arab.
Huruf Arab dan Keyakinan
Ojek atau artefak merupakan sarana komunikasi, ritual, ibadah, dan tindakan sosial-religius lainnya. Melalui objek-objek buatan manusia itu aneka imajinasi tentang ketuhanan, kesucian dan spiritualitas dibangun. Hubungan manusia dengan tuhan di mediasi oleh objek sehingga dapat membangun dan mengukuhkan kehadiran yang transenden secara simbolis. Pada agama-agama tertentu pengunaan objek dua dimensi seperti teks, manuskrip, huruf, rajah, simbol, gambar dan objek tiga dimensi seperti patung, tongkat, pedang, guci, mangkuk menjadi bagian utama dari ritual keagamaan. Imajinasi keagamaan dimanifestasikan melalui citra yang ditampilkan dan makna yang dihasilkan oleh objek-objek tersebut (Piliang. 2010: XXV).
Annemarie Schimmel dalam bukunya Deciphering the Sign of God menggambarkan fenomena fetis dalam kebudayaan islam dikaitkan dengan objek fetis tertentu sebagai objek sembahan lantaran kekuatan virtual-internal yang dipercaya bersemayam di dalamnya. Sebagi contaoh kitab suci Al-Quran dengan kekuatan ‘huruf’, ‘kata’ atau ‘kalimat’ turut menjadi objek pemujaan, meminggirkan kandungan isi atau pesan ketuhan lalu mengisinya dengankekuatan magis atau supranatural. Kekuatan itu lantas dipercaya dapat menyembuhkan penyakit, membawa keberuntungan menaikan pangkat dan lain lain. (Piliang. 2010:31-32).
Ikhtitam
Pemahaman-pemahaman diatas permukaan dalam mencerna agama hanya akan tejebak pada imajinasi dangkal, menguburkan realitas agama dalam makna yang sempit. Ayat-ayat dan huruf dipercaya memberikan kekuatan untuk penagkal kejahatan, mendatangkan rizki, mendaptkan kesehatan, maka adakalanya Al-Quran di cetak sangat kecil dan sulit dibaca, kemudian dimasukkan kedalam gulungan kain yang akan digunakan sebagai kalung, kurang lebih itulah wafak, jimat, isim. Kesakralan wahyu Al-Quran sebagi mukjizat tidak banyak memberi nilai guna untuk ummatnya jika yang diharapkan adalah keajaiban-keajaiban yang muncul dari khasiat (supranatural) huruf. Ia akan tetap menjadi onggokan huruf tidak berguna, dan hilanglah realitas kitab suci jika tidak dibaca, difahami, dikaji, dan diamalkan secara baik.
Huruf arab yang menuliskan ayat Al-Quran adalah hasil kebudayaan manusia, hasil perjalanan panjang dari berbagai adaptasi zaman dan kebudayaan. Salah satu keberhasilan perjalanan kebudayaan itulah evolusi huruf. Sepertinya jika percaya benda fetis seperti wafak dan lainnya manjur ditulis dengan hutuf arab, maka harusnya hasilnya sama, ketika menggunakan huruf Yunani. Sebab Ibu dari huruf arab, hebrew, latin, bersumber dari satu kebudayaan besar yaitu pheonecian. Alif, aleph, alfa, untuk istilah huruf pertama, berarti sapi ( hewan seperti sapi, banteng, kerbau). ba, be beth, untuk huruf kedua artinya rumah dalam bahasa arab rumah adalah baitun. Huruf-huruf itu divisualkan dengan gaya berbeda.
Penghormatan lebih pada huruf arab sebagai sebuah sikap, tidak perlu aneh, suatu saat kita memasuki sebuah perkampungan, terdapat sebuah rumah yang menyimpan sobekan-sobekan kertas disimpan di tempat yang istimewa. Huruf-huruf arab yang tercecer itu dikhawatirkan menjadi berdosa bagi siapapun yang menginjaknya. Sikap seperti ini membuat rasa was-was tersendiri bagi orang-orang yang percaya terhadap huruf Arab identik dengan Al-Quran, padahl itu hanyalah sobekan koran berbahasa arab.
Maka Bacalah.
Sumber:
- Sedyawati, Edi. (2010): Budaya Indonesia: kajian Arkeologi, Seni, dan sejarah, Jakarta, Rajawali Pers.
- Rosidi, Ajip. (1995): Sastera Dan Budaya Kedaerahan Dalam KeIndonesiaan, Pustaka Jaya, Jakarta.
- Tjandrasasmita, Uka. (2009): Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta, KPG
- Soekmono, R. (1981):Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 3, Yogyakarta, Kanisisus.
- Al-Faruqi, Ismail, R., Al-Faruqi, Lois, L. (2001): Altas Budaya Islam, Bandung, Mizan.
- Piliang, yasraf, Amir. (2010): Bayang-bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi, Bandung, Mizan
- Putuhena, M. Shaleh. (2007): Histografi Haji Indonesia, Yogyakarta, LKIS
- Ruskhan, Abdul, Gaffar. (2007):Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia: Kajian tentang Pemungutan Bahasa, Jakarta, Balai Pustaka.
Comments
Post a Comment